Tsunami Dalam Pandangan Buddhis
Buddhisme mengajarkan mengenai
penyebab, bahwa seluruh alam semesta merupakan jaringan sebab akibat
yang saling berhubungan. Ada dua jenis dari penyebab — penyebab alami
dan penyebab moral. Penyebab alami tidak ada kaitannya dengan prilaku
baik atau buruk manusia, ia hanya merupakan beragam kekuatan di alam
semesta yang bekerja satu sama yang lain. Hujan badai ataupun tanaman
yang masak, merupakan contoh dari penyebab alami. Penyebab alami tentu
saja dapat mempengaruhi kita — terjebak dalam hujan badai dapat membuat
kita pilek. Tetapi menderita karena pilek tidak ada hubungannya dengan
perbuatan baik maupun tidak baik pada masa lampau — Ini merupakan efek
alami dari sebuah sebab alami.
Penyebab moral adalah mengenai bagaimana
manusia berpikir, berbicara dan berbuat dan apa yang mereka rasakan
sebagai hasilnya. Ajaran Sang Buddha mengenai Kamma hanya
menitikberatkan pada penyebab moral. Menjadi penolong bagi seseorang,
mendapatkan ucapan terima kasih dari mereka dan merasakan kebahagiaan
karenanya; mencuri sesuatu, tertangkap dan akhirnya mengalami hal yang
memalukan, ini merupakan contoh dari penyebab moral. Kebahagiaan atau
ketidaknyamanan seseorang merupakan hasil langsung dari bagaimana
seseorang telah bertindak. Seseorang tidaklah sedang mendapatkan
“imbalan” ataupun “hukuman” atas perbuatan-perbuatan mereka, kebahagiaan
atau ketidaknyamanan mereka hanyalah merupakan hasil dari
perbuatan-perbuatan mereka. Sekarang marilah kita melihat pada peristiwa
tsunami baru-baru ini dari sudut pandang ajaran tentang Kamma.
Tsunami merupakan sebuah contoh dari
peristiwa yang disebabkan oleh penyebab alami. Lempengan-lempengan
tektonik pada permukaan bumi bergerak disebabkan karena gempa bumi,
energi yang dilepaskan menciptakan gelombang yang sangat besar dimana,
ketika mengenai pantai menyebabkan kerusakan. Orang-orang yang berada di
daerah dimana tertimpa tsunami baru-baru ini mengalami dua jenis
penderitaan — penderitaan yang disebabkan oleh penyebab alam dan
penderitaan yang disebabkan oleh penyebab moral, yaitu Kamma.
Saat terjadi banjir besar seseorang mungkin terhantam oleh pohon yang
jatuh, tergores oleh serpihan logam atau terhempas ke dinding. Ini
merupakan contoh efek yang menyakitkan dari penyebab alami dan tidak ada
hubungannya dengan perbuatan baik atau buruk pada masa lampau.
Kamma menitikberatkan pada pikiran, ucapan dan perbuatan (kamma) seseorang yang disengaja dan dampak-dampak dari reaksi-reaksi tersebut (vipaka).
Saya akan memberikan beberapa contoh berbagai sikap yang berbeda dari
reaksi orang-orang terhadap tsunami dan berbagai efek yang mereka
dapatkan. Katakanlah ada dua orang – seorang pria dan wanita – keduanya
terluka dalam tsunami dan kehilangan rumah dan penghidupan mereka. Sang
pria berputus asa, “Mengapa saya?” Ia menangis. “Jika saja hari ini saya telah keluar dari kota”,
ia berkata dalam kemarahan dan penyesalan. Dengan berpikir seperti ini
ia melipatgandakan penderitaannya. Namun pemikirannya segera berubah. Ia
menyadari bahwa rumah tetangganya mengalami kerusakan kecil dan ia
berpikir, ”Sial, saya tidak pernah menyukainya, sayang sekali rumahnya tidak hancur.” Ia terus melipatgandakan penderitaannya dan begitu juga pikiran buruk dan negatifnya terus menguat. Selanjutnya ia berpikir, ”Baiklah, semua orang mementingkan dirinya sendiri.”
Dan ia mulai berjalan berkeliling mencari jikalau ia dapat mencuri
apapun dari rumah-rumah yang ditinggalkan. Sekarang pikiran dan perasaan
buruk pria itu mengarah pada perbuatan-perbuatan negatif.
Sekarang mari kita lihat reaksi pada wanita tersebut. Setelah ia pulih dari trauma awalnya, pikiran pertamanya adalah, ”Betapa beruntungnya saya bisa tetap hidup”.
Ia menderita tetapi ia ia tidak menambahkan penderitaannya dengan
penyesalan, keputusasaan atau kemarahan. Kemudian ia berpikir, ”Pasti ada orang lain yang lebih parah dari saya. Saya harus melihat apa yang dapat saya lakukan untuk menolong,”
dan ia mulai berkeliling mencari orang-orang yang terluka. Memikirkan
orang lain memberikan peningkatan atas ketidakhirauannya akan keadaannya
sendiri dan dengan begitu, sekali lagi, hal ini tidak menambah
penderitaannya. Hari berikutnya ia mengatur untuk mendapatkan beberapa
makanan yang didistribusikan oleh pemerintah dan sepanjang perjalanannya
ia menyadari ada seorang anak yang tidak mendapatkan makanan apapun. Ia
menenangkan anak itu dan membagi makanannya kepada anak itu. Melihat
anak itu sedirian ia memutuskan untuk menjaganya. Setelah beberapa hari
ayah si anak melihat anaknya dan sangat bersyukur kepada wanita itu
karena telah menjaga anaknya. Sang ayah sekarang tinggal dengan saudara
perempuannya di kota terdekat yang tak terjangkau tsunami dan mengundang
wanita itu untuk datang dan tinggal dengannya dimana ia mendapatkan
makanan dan tempat berlindung. Pikiran dan tindakan positif wanita itu
sekarang memiliki dampak positif yang nyata pada kehidupannya.
Sekarang mengapa pria tersebut bereaksi
secara berbeda dengan wanita tersebut? Karena reaksi mereka terhadap
pengalamannya pada masa lampau, tidak lain yaitu karena Kamma masa
lampau mereka. Kecenderungan batin negatif pria tersebut pada masa
lampau (kamma) telah membuat ia memiliki kecenderungan batin
negatif pada masa sekarang dan pada gilirannya mungkin akan membuat ia
memiliki kecenderungan batin negatif pada masa depan. Kecenderungan
batin seperti ini membuat penderitaannya lebih besar dari apa yang
seharusnya ia dapatkan (vipaka). Wanita tersebut (ia mungkin
seorang Muslim, Buddhis, Kristiani, atau tidak memiliki agama) telah
diajarkan dan selalu mempercayai bahwa adalah penting untuk memiliki
pikiran dan perbuatan yang baik dan ia selalu berusaha untuk
mengembangkannya. Kecenderungan batin positif wanita tersebut pada masa
lampau (kamma) telah membuat ia memiliki kecenderungan batin
positif pada masa sekarang dan pada gilirannya mungkin akan membuat ia
memiliki kecenderungan batin positif pada masa depan. Kecenderungan
batin seperti ini mengurangi penderitaannya dan mengarahkan dirinya
sehingga mendapat perlindungan dari ayah anak itu. Dengan kata lain,
perbuatan (kamma) positif masa lampaunya menuai dampak positif (vipaka) pada masa sekarang.
Jadi menurut Buddhisme sakit fisik yang
dialami oleh para korban tsunami disebabkan oleh beragam penyebab alami.
Bagaimana mereka bereaksi terhadap penyebab alami ini merupakan kamma
mereka, hasil dari reaksi positif maupun negatif mereka pada masa depan
(besok), bulan depan, tahun depan, mungkin kehidupan mendatang), akan
menjadi vipaka mereka. Sebagai manusia yang memiliki
keterbatasan akan pengetahuan dan kekuatan kita hanya bisa mengurangi
pengaruh dari beragam penyebab alami. Bagaimanapun kita juga memiliki
kemampuan untuk membentuk dan mengontrol reaksi-reaksi kita terhadap
berbagai situasi. Jika kita tidak membuat upaya dalam mengembangkan
pikiran kita di jalan yang positif mungkin kita di masa depan menemukan
diri kita kewalahan oleh keadaan yang tidak diharapkan. Jika kita
membuat upaya dalam mengembangkan pikiran kita, terutama melalui
meditasi, kita dapat lebih siap untuk memikul bahkan memenangkan
kemalangan di masa depan.
Pemberitaan penuh dengan contoh keduanya. Orang-orang bertanya, “Bagaimana mungkin untuk tetap bebas dari kesedihan, kegelisahan dan ketakuatan dalam kondisi yang mengerikan?”
Tetapi beberapa orang dapat melakukannya. Seorang pria di Sri Lanka
kehilangan isteri dan kedua anaknya dan tentu saja ini adalah hal yang
sangat buruk. Namun, menjadi seorang praktisi Buddhis, ia pulih dari
duka citanya sekitar dua hari kemudian ketika ia menemukan dua orang
anak kelaparan, menangis dengan kedua orang tuanya yang meninggal
didekatnya, dan ia memutuskan untuk mengadopsi mereka. Rupanya, orang
lain penah melihat kedua anak ini tetapi tidak melakukan apapun untuk
menolongnya. Ketika diwawancarai pria itu mengatakan bahwa dua anak
adopsinya telah memberikan sebuah arti baru bagi kehidupannya dan
memberikan kekuatan untuk mengatasi berbagai kesulitan. Kita membaca
kisah lain dari orang-orang yang emngambil keuntungan dari bencana ini
untuk merampas, merampok dan mencuri. Masing-masing dari kita memilih
untuk menjalani jalan yang kita lakukan dan kita akan mengalami hasilnya
yang sesuai. Ketika seorang pria Singapura mendengar bencana itu ia
mengemasi barang-barang ke mobil vannya dan mengemudi ke Thailand dengan
tujuan menyalurkan makanan dan air kepada para korban. Sayangnya, dalam
perjalanan mobil van-nya tergelincir dan ia pun tewas. Orang-orang
bertanya, ”Mengapa pria itu menderita dalam perbuatan baiknya?”
Tetapi pertanyaan seperti itu merupakan sebuah kebingungan antara
penyebab alami dan penyebab moral. Ketangkasan dan tanggapan nyata pria
ini terhadap penderitaan orang lain memperlihatkan belas kasih yang
sangat besar dan akan berdampak positif bagi kehidupan berikutnya.
Kecelakaan yang dialaminya tidak ada hubungannya dengan perbuatan baik
ataupun buruk yang telah ia lakukan – ini merupakan hasil dari penyebab
alami – ketiadaan perhatian sesaat, rem yang blong, jalanan yang licin
karena hujan, dan sebagainya. Menjadi seseorang yang baik bukan berarti
kita tidak akan pernah menderita akibat penyebab alami, tetapi ini lebih
berarti bahwa ketika kita menderita karena penyebab alami, dengan
melakukan kebaikan kita setidaknya mengurangi reaksi negatif yang akan
menambah penderitaan kita.
Beberapa umat Buddha yang kurang akan
informasi mungkin akan berkata bahwa kematian dan kecelakaan yang
disebabkan oleh tsunami merupakan hasil dari Kamma buruk yang lampau.
Perlu ditekankan di sini bahwa pernyataan tersebut bertolak belakang
dengan apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Dalam Devadaha Sutta
(Majjhima Nikaya II.214, dan juga Anguttara Nikaya I.173) Sang Buddha
mengatakan bahwa kepercayaan yang mengatakan bahwa setiap pengalaman
yang kita alami sekarang merupakan hasil dari Kamma kehidupan masa
lampau (sabbam tam pubbe katahetu) adalah salah dan merupakan pandangan keliru (miccha ditthi). Dalam Sivaka Sutta (Samyutta Nikaya IV. 228)[1]
Beliau mengatakan bahwa penderitaan yang kadangkala kita alami dapat
merupakan akibat dari Kamma tetapi juga bisa karena penyakit, cuaca,
kelalaian ataupun sebab-sebab eksternal (opakkamikani). Tsunami
merupakan contoh yang baik dari penyebab ketiga dan yang terakhir.
Semua Kamma, baik Kamma baik maupun buruk, pastilah memiliki dampak,
tetapi tidak semua dampak berhubungan dengan Kamma.
Tetapi apa yang ada pada diri kita yang
cukup beruntung tidak terlibat dalam bencana ini? Bagaimana mungkin
ajaran Sang Buddha mengenai Kamma berhubungan dengan diri kita? Seperti
pria dan wanita yang dikisahkan di atas, reaksi kita akan tsunami dapat
berupa reaksi negatif maupun positif. Seseorang mungkin membaca mengenai
tragedi yang terjadi, mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh dan
kemudian membalikkan halaman ke halaman olahraga. Ketika diminta untuk
menyumbang bagi para korban ia mungkin menolak untuk memberikan sesuatu,
dengan mengatakan bahwa minggu ini ia kekurangan uang tunai. Atau ia
mungkin memberikan sumbangan tetapi kemudian memberitahukan kepada
setiap orang berharap agar mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari
mereka. Ia telah diberikan sebuah kesempatan untuk bereaksi secara
berbeda dari apa yang telah sering ia lakukan tetapi ia telah gagal
untuk mengambil kesempatan tersebut. Ia telah gagal untuk menumbuhkan
dan mengubahnya, ia hanya memperkenankan dirinya terbawa oleh kebiasaan
lamanya yang bodoh, ketamakan, harga diri dan miskinnya belas kasih.
Tetapi katakanlah ada seseorang yang
selalu sangat tak perduli dan selalu memuja diri sendiri tetapi ketika
ia melihat para korban tsunami di televisi, ia merasakan belas kasih
yang menusuk. Kemudian, daripada mengacuhkan percikan belas kasih
seperti yang selalu ia lakukan di masa lalu, ia memutuskan untuk
bertindak. Ia pergi ke Palang Merah dan melakukan sumbangan yang sangat
mulia. Ketika disana ia melihat tanda pengumuman yang meminta untuk
menjadi sukarelawan dan secara spontan ia mendaftar dan untuk beberapa
minggu ke depan ia menghabiskan waktu luangnya untuk mengumpulkan dana
dan membantu dengan beragam cara. Sebagai hasilnya ia telah memperlemah
kecenderungan batinnya yang mementingkan diri sendiri dan meningkatkan
kecenderungan batinnya yang positif, ia telah menumbuhkan dan merubahnya
ke beberapa tingkatan. Jika di masa mendatang ia tetap meneruskan
perbuatannya dalam cara-cara yang positif ini, maka kapan pun ia
memiliki kesempatan, ia akan secara berkala menjadi orang yang lebih
menyenangkan dan mungkin juga menjadi seseorang yang lebih bahagia.
Jadi, bahkan tragedi seperti tsunami
sesungguhnya dapat memiliki sisi yang positif. Pertama-tama, ia dapat
menjadi sebuah kesempatan untuk mengembangkan kedermawanan, keperdulian,
dan belas kasih. Kedua, ia dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk
merenungkan mengenai kebenaran akan Dukkha, sebuah ajaran Sang
Buddha yang mengajarkan bahwa kehidupan di dunia yang berkondisi
merupakan sesuatu yang tidak memuaskan. Dengan perenungan seperti ini
dapat membangunkan kita dari kepuasan akan diri, mengingatkan kita bahwa
bagaimanapun nyamannya kehidupan kita, ia dapat berubah kapan saja. Hal
ini dapat membantu untuk mengubah diri kita dari pengejaran keduniawian
yang tidak menentu ke tujuan spiritual yang penuh arti.
0 komentar:
Posting Komentar